Sunday, February 15, 2009

MENULIS ILMIAH POPULER

Oleh: Jajang A. Sonjaya (Ama Robi Hia)


Apa itu tulisan ilmiah populer?

Tulisan ilmiah adalah tulisan yang berisi deskripsi, analisis, dan interpretasi atas suatu fakta yang didasarkan pada kerangka pikir ilmu tertentu dengan kaidah-kaidah (metode) ilmu tertentu sehingga pembacanya terbatas; sedangkan tulisan populer adalah tulisan yang dapat dibaca oleh orang awam. Jadi, tulisan ilmiah populer adalah tulisan ilmiah yang dikemas untuk orang awam.

Tulisan ilmiah populer adalah media untuk mengkomunikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan masyarakat (orang awam) secara timbal-balik.

Tulisan ilmiah populer bukanlah suatu tulisan hasil penelitian yang lengkap, melainkan tulisan yang unik dan cerdas, serta menggugah rasa ingin tahu pembaca awam sehingga ia mau membaca utuh untuk mengerti dan memahaminya.

Mengapa arkeolog perlu menulis ilmiah populer?

Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh manusia. Tinggalan arkeologi tidak hanya menunjuk pada budaya bendawi yang ditinggalkan manusia dari masa lalu, melainkan pula untuk semua jejak di luar budaya bendawi yang menunjukkan sisa-sisa aktivitas manusia. Biji padi, arang, tulang-tulang binatang, dan sisa-sisa makanan dapat disebut sebagai tinggalan arkeologi. Yang demikian itu dikenal dengan istilah ekofak. Demikian pula lubang-lubang di tanah yang tercipta karena aktivitas manusia dapat dikategorikan tinggalan arkeologi. Yang demikian itu dikenal dengan istilah fitur. Tinggalan arkeologi merupakan data utama bagi arkeolog untuk menafsirkan kebudayaan. Dari data itulah arkeolog bisa merangkai cerita tentang kebudayaan manusia, baik cerita tentang sejarah kebudayaan, rekonstruksi cara-cara hidup, maupun proses perubahan kebudayaan.

Lembaga-lembaga arkeologi, baik di perguruan tinggi maupun pemerintahan, memiliki data, laporan-laporan, dan koleksi yang sangat kaya yang hanya tersimpan di lemari, meja, dan gudang. Jangan salahkan masyarakat awam jika mereka tidak peduli atau merusak warisan budaya karena ketidaktahuan. Tulisan ilmiah populer karya arkeolog sangat dinanti sebagai jembatan yang menghubungkan pengetahuan para arkeolog dan masyarakat.

Tulisan ilmiah arkeologi umumnya hanya diperuntukkan bagi arkeolog semata dan ilmu-ilmu terkait yang sangat terbatas sifatnya sehingga fakta dan interpretasi yang disajikan ibarat “masih terpendam di dalam tanah”.

Tulisan ilmiah pupuler adalah media yang strategis bagi arkeolog untuk benar-benar mengungkap fakta arkeologi dan interpretasi ke atas permukaan sehingga bisa diketahui dan dipahami publik.

Untuk arkeolog yang bergerak di bidang pelestarian, tulisan ilmiah populer menjadi lebih strategis karena dapat digunakan sebagai media untuk mengungkap nilai-nilai sejarah dan budaya yang ada di balik data arkeologi sehingga dapat menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap peninggalan sejarah dan purbakala (warisan budaya).


Kepada siapa Anda menyajikan tulisan?

Seberapa dalam informasi yang akan Anda sajikan tergantung siapa pembacanya. Karya ilmiah populer di koran umum, tentu isinya lebih dangkal dibanding dengan ilmiah populer di bulletin/jurnal/majalah ilmiah. Sifat tulisan untuk pembaca umum, lebih mengedepankan unsur entertainment, dibandingkan tulisan untuk komunitas spesifik. Selain dari segi isi, karya ilmiah populer untuk komunitas spesifik terkadang masih banyak menggunakan jargon-jargon ilmiah. Hal itu sah-sah saja, sebab di sini istilah spesifik tidak akan asing lagi bagi pembacanya yang juga spesifik. Artefak terbitan HIMA salah satu contohnya, sedangkan tulisan-tulisan pada Sangsakala, Berkala Arkeologi, belum bisa dikategorikan sebagai ilmiah populer.

Media apa yang Anda pilih?

Informasi untuk di internet, televisi, koran, jurnal, atau majalah berbeda cara penulisannya. Misalnya media televisi mempunyai kelebihan dapat menampilkan gambar. Sehingga penggunaan teks jauh lebih sedikit. Namun kelemahan media ini, waktu yang tersedia jauh lebih singkat daripada media cetak. Cotoh lain, perbedaan antara media cetak dan online. Media online dengan sifat revolusioner hyperlinks-nya dapat merubah alur membaca. Kelebihan sifat link ini, Anda dapat mengarahkan pembaca kepada fokus yang Anda tuju. Berbeda dengan media cetak, misalnya buku, karakteristik membaca sifatnya linear. Anda mengarahkan pembaca melalui daftar isi.

Ketika Anda hendak menulis untuk koran, maka lingkup koran juga harus menjadi perhatian: apakah itu koran lokal atau nasional? Menulis untuk Opini Kompas tentu sangat berbeda dengan Opini Kedaulatan Rakyat. Opini Kompas memuat hal-hal yang lebih berat dan menasional dibanding Opini Kedaulatan Rakyat yang lebih ringan dan merakyat.

Kira-kira berapa lama waktu yang tersedia bagi pembaca?
Pembaca koran biasanya lebih sedikit meluangkan waktu membacanya daripada pembaca majalah, apalagi buku. Bukankah koran yang sudah seminggu dinyatakan tidak aktual lagi? Umumnya pembaca tidak mengorek-ngorek lagi koran yang sudah bertumpuk selama setahun lamanya. Semakin sedikit waktu yang tersedia, informasi yang Anda sajikan semakin pendek dan harus cepat menuju sasaran.

Membidik Pembaca: Pilih Topik Menarik

Tulisan ilmiah populer Anda dedikasikan untuk pembaca awam, bukan ahli yang memang berkecimpung di bidangnya. Posisikan diri Anda pada pembaca. Pikirkan, mengapa Anda perlu membagi ilmu Anda? Apa yang membuat pembaca dapat tertarik dengan tulisan Anda?

Beberapa cara menggelitik motivasi pembaca antara lain: (1) Mengaitkan dengan kondisi aktual, contoh: dikaitkan dengan kasus Trowulan, Kasus Radya Pustaka, Hari Purbakala, dsb. (2) membuat lead atau kepala tulisan yang menarik dan memancing pembaca; dan (3) membungkus dengan teori atau kerangka pikir yang bersifat umum, jangan spesifik.

Kiat Menulis Artikel

Apa itu Artikel?

Tulisan ilmiah populer untuk koran/majalah/bulletin/newsletter/jurnal umumnya dalam bentuk artikel.

Ada sejumlah pengertian mengenai artikel. Pertama, dalam kamus besar Bahasa Indonesia, artikel diberi batasan sebagai karya tulis lengkap, misalnya laporan berita atau esai di majalah, surat kabar, dan sebagainya. Kedua, artikel adalah sebuah karangan prosa yang dimuat dalam media massa, yang membahas isu tertentu, persoalan, atau kasus yang berkembang dalam masyarakat secara lugas (Tartono 2005: 84). Ketiga, artikel merupakan karya tulis atau karangan; karangan nonfiksi; karangan yang tak tentu panjangnya; karangan yang bertujuan untuk meyakinkan, mendidik, atau menghibur

Ada beberapa jenis artikel berdasarkan dari siapa yang menulis dan fungsi atau kepentingannya (Tartono 2005: 85-86). Berdasarkan penulisnya, ada artikel redaksi dan artikel umum. Artikel redaksi ialah tulisan yang digarap oleh redaksi di bawah tema tertentu yang menjadi isi penerbitan. Sedangkan artikel umum merupakan tulisan yang ditulis oleh umum (bukan redaksi).

Dari segi fungsi atau kepentingannya, ada artikel khusus dan artikel sponsor. Artikel khusus adalah nama lain dari artikel redaksi. Sedangkan artikel sponsor ialah artikel yang membahas atau memperkenalkan sesuatu.

Menguji Gagasan

Prinsip paling dasar dari melakukan kegiatan menulis ialah menentukan atau memastikan topik atau gagasan apa yang hendak dibahas. Penulis dari awal harus bisa membayangkan apakah gagasan itu penting bagi sejumlah besar orang? Dapatkah gagasan ini disempitkan sehingga mempunyai fokus yang tajam? Apakah gagasan itu terikat waktu? Apakah gagasan itu segar dan memiliki pendekatan yang unik? Apakah gagasan Anda akan lolos dari saringan penerbit?

Pola Penggarapan Artikel

Setidaknya ada lima pola yang bisa kita gunakan untuk menyajikan artikel. Berikut adalah kelima pola yang dimaksudkan.

  1. Pola pemecahan topik. Pola ini memecah topik yang masih berada dalam lingkup pembicaraan yang ditemakan menjadi subtopik atau bagian-bagian yang lebih kecil dan sempit kemudian menganalisa masing-masing.
  2. Pola masalah dan pemecahannya. Pola ini lebih dahulu mengemukakan masalah (bisa lebih dari satu) yang masih berada dalam lingkup pokok bahasan yang ditemakan dengan jelas, lalu menganalisa pemecahan masalah yang dikemukakan oleh para ahli di bidang keilmuan yang bersangkutan.
  3. Pola kronologi. Pola ini menggarap topik menurut urut-urutan peristiwa yang terjadi.
  4. Pola pendapat dan alasan pemikiran. Pola ini baru dipakai bila penulis yang bersangkutan hendak mengemukakan pendapatnya sendiri tentang topik yang digarapnya, lalu menunjukkan alasan pemikiran yang mendorong ke arah pernyataan pendapat itu.
  5. Pola pembandingan. Pola ini membandingkan dua aspek atau lebih dari suatu topik dan menunjukkan persamaan dan perbedaannya. Inilah pola dasar yang paling sering dipakai untuk menyusun tulisan.

Kelima pola penggarapan artikel di atas dapat dikombinasikan satu dengan yang lain sejauh dibutuhkan untuk menghadirkan sebuah tulisan yang kaya.

Menulis Bagian Pendahuluan/Lead

Untuk bagian pendahuluan, setidaknya ada tujuh macam bentuk pendahuluan yang bisa digunakan (Soeseno 1982: 42). Salah satu dari ketujuh bentuk pendahuluan berikut ini dapat kita jadikan alternatif untuk mengawali penulisan artikel kita.

Ringkasan. Pendahuluan berbentuk ringkasan ini nyata-nyata mengemukakan pokok isi tulisan secara garis besar.

Pernyataan yang menonjol. Terkadang disebut juga sebagai "pendahuluan kejutan", diikuti kalimat kekaguman untuk membuat pembaca terpesona.

Pelukisan. Pendahuluan yang melukiskan suatu fakta, kejadian, atau hal untuk menggugah pembaca karena mengajak mereka membayangkan bersama penulis apa-apa yang hendak disajikan dalam artikel itu nantinya.

Anekdot. Pembukaan jenis ini sering menawan karena memberi selingan kepada nonfiksi, seolah-olah menjadi fiksi.

Pertanyaan. Pendahuluan ini merangsang keingintahuan sehingga dianggap sebagai pendahuluan yang bagus.

Kutipan orang lain. Pendahuluan berupa kutipan seseorang dapat langsung menyentuh rasa pembaca, sekaligus membawanya ke pokok bahasan yang akan dikemukakan dalam artikel nanti.

Amanat langsung. Pendahuluan berbentuk amanat langsung kepada pembaca sudah tentu akan lebih akrab karena seolah-olah tertuju kepada perorangan.

Menulis Bagian Pembahasan atau Tubuh Utama

Bagian ini disarankan dipecah-pecah menjadi beberapa bagian. Masing-masing dibatasi dengan subjudul-subjudul. Selain memberi kesempatan agar pembaca beristirahat sejenak, subjudul itu juga bertugas sebagai penyegar, pemberi semangat baca yang baru (Soeseno 1982: 46). Oleh karena itu, ada baiknya subjudul tidak ditulis secara kaku.

Pada bagian ini, kita bisa membahas topik secara lebih mendalam. Uraikan persoalan yang perlu dibahas, bandingkan dengan persoalan lain bila diperlukan.

Menutup Artikel

Kerangka besar terakhir dalam suatu karya tulis ialah penutup. Bagian ini biasanya memuat simpulan dari isi tulisan secara keseluruhan, bisa juga berupa saran, imbauan, ajakan, dan sebagainya (Tartono 2005: 88).

Ketika hendak mengakhiri tulisan, kita tidak mesti terang-terangan menuliskan subjudul berupa "Penutup" atau "Simpulan". Penutupan artikel bisa kita lakukan dengan menggunakan gaya berpamitan (Soeseno 1982: 48). Gaya pamit itu bisa ditandai dengan pemarkah seperti "demikian", "jadi", "maka", "akhirnya", dan bisa pula berupa pertanyaan yang menggugah pembaca.

Pemeriksaan Isi Artikel

Ketika selesai menulis artikel, hal selanjutnya yang perlu kita lakukan ialah melakukan pemeriksaan menyeluruh. Untuk meyakinkan bahwa tulisan yang kita hasilkan memang baik, kita harus rajin memeriksa tulisan kita. Untuk memudahkan pengoreksian artikel, beberapa pertanyaan berikut perlu kita jawab (Pranata 2002: 129-130).

Untuk pembukaan, misalnya, apakah kalimat pembuka bisa menarik pembaca? Dapatkah pembaca mulai mengerti ide yang kita tuangkan? Jika tulisan kita serius, adakah kata-kata yang sembrono? Apakah pembukaan kita menyediakan cukup banyak informasi?

Untuk isi atau tubuh, apakah kalimat pendukung sudah benar-benar mendukung pembukaan? Apakah masing-masing kalimat berhubungan dengan ide pokok? Apakah ada urutan logis antarparagraf?

Untuk simpulan, apakah disajikan dengan cukup kuat? Apakah mencakup semua ide tulisan? Bagaimana reaksi kita terhadap kata-kata dalam simpulan tersebut? Sudah cukup yakinkah kita bahwa pembaca pun akan memiliki reaksi seperti kita?

Jika kita menjawab "tidak" untuk tiap pertanyaan tersebut, berarti kita perlu merevisi artikel itu dengan menambah, mengganti, menyisipi, dan menulis ulang bagian yang salah.

Catatan Khusus untuk Menulis Artikel di Koran

  • Pilihan tulisan untuk koran: opini, review, dan feature. Bukan berita, karena news sudah menjadi jatah wartawan media yang bersangkutan.
  • Apa yang mau ditulis? Jangan menulis klise.
  • Tulisan ilmiah populer untuk opini bersifat analitis, bukan deskriptif.
  • Tulisan ilmiah populer untuk feature, misal rubrik Nusantara (di Kompas) atau Budaya (di KR), boleh deskriptif, tapi harus menggugah rasa ingin tahu pembaca dan menyentuh perhatian publik.
  • Sampaikan satu hal dalam satu tulisan, bukan dua, apalagi tiga.
  • Yang ideal: hal baru, gagasan baru, teori baru, perspektif baru, tapi yang ideal biasanya sulit dijangkau.
  • Kata kunci: perspektif baru, bukan usang. Teori, gagasan, kejadian, …bisa lama, tapi perspektifnya harus baru.
  • Karena itu, sampaikan hal yang penting, yang signifikan. Isi, bukan kulit. Gagasan, bukan cara. Kecuali bicara soal cara atau kulit itu sendiri.
  • Beri ‘hook’–kaitkan dengan aktualita. Aktual tidak sama dengan genting. Untuk memberi perspektif ilmiah atas yang genting/mendesak, media biasanya sudah mempunyai daftar orang pilihan. Ini bukan jatah pemula/penulis yang belum dikenaloleh media, tapi tidak ada salahnya mencoba.
  • Apa relevansi tulisan dengan konteks sosial, ekonomi, budaya, agama, teknologi, ideologi, dll.?
  • Sampaikan hal yang logis. Beri data akurat dan tunjukkan alur berpikir. Ini yang membedakan tulisan ‘sampah’ atau bukan. Di meja redaksi, selain folder ‘muat-revisi’, ada dua folder lain: ‘sampah-buang’dan ‘kembalikan-komentar’. Sekali masuk ke tong ‘sampah’, sulit bisa mendapat kepercayaan lagi. Jangan menulis sampah. Jika tak yakin, lebih baik tak usah menulis. Atau kirim ke media yang lebih longgar.
  • Media yang baik memberi komentar dan indikasi penerimaan (belum tentu pemuatan) artikel yang dikirim. Jika dalam satu bulan tak ada indikasi/kabar, lupakan. Kirim ke media lain. Jika menerima komentar “Artikel Anda menarik, namun kami kesulitan tempat memuat tulisan Anda”, itu berarti tulisan Anda tidak menarik. Tapi jangan tersinggung dan putus asa. Teruslah menulis!
  • Tulis dengan ringan. Ingat bahwa ringan tidak sama dengan dangkal. Saya pernah menulis untuk Kompas tentang pengalaman survei gua-gua di Gunungkidul yang didanai Toyota Foundation. Tulisan tujuh halaman itu ditolak. Padahal saya merasa yakin tulisan itu lebih baik dibanding tulisan Truman Simanjuntak tentang Pacitan yang dimuat seminggu sebelumnya, baik dari segi kekayaan temuan maupun cara penuturannya (maaf, bukan bermaksud narsis, hanya ingin bilang bahwa menulis itu harus ‘PeDe’). Untuk pembelajaran, saya kirimkan tulisan yang ditolak Kompas itu pada seorang wartawan untuk minta pendapatnya. “Terlalu berat, Jang!”, komentarnya. Saya menulis ulang gagasan itu. Untuk memberikan kesan ringan pada tema-tema kearkeologian yang biasanya berat, saya mengkaitkan petualangan mencari gua-gua di Gunungkidul itu dengan temuan jejak harimau di Gua Plawan. Tulisan jadi, lalu diberi judul Berburu Situs Goa, Temukan Jejak Harimau. Akhirnya dimuat Kompas 19 Juli 2002. Kabar tentang dimuatnya tulisan itu saya dapatkan dari seorang rekan ketika saya sedang melakukan penelitian di Berau, Kalimantan Timur. Senang rasanya tulisan pertama saya di Kompas dibaca rekan-rekan di pedalaman, meski harian umum itu selalu terlambat datang 1 – 2 hari ke Tanjungredeb, Ibukota Kabupaten Berau.
  • Tulis dengan mengalir.
  • Gunakan gaya bahasa yang memikat.
  • Gunakan gaya bertutur untuk argumen-argumen Anda.
  • Bahasa Indonesia –umumnya 1200-1500 kata. EYD
  • Bahasa Inggris –umumnya 800-1000 kata. “s”–“z”– “of”–perhatikan selera media: British –American?
  • Setelah draft tulisan jadi, baca dan perbaiki. Baca dan perbaiki sekali lagi atau dua kali lagi. Beri jeda dulu semalam (untuk ditinggal tidur) sebelum Anda membaca yang terakhir kali.
  • Minta orang lain membaca. Sekali. Tanya apa yang dia pahami dan apa kesannya.
  • Revisi minimal dua kali lagi.
  • Pahami dulu ideologi media yang akan dikirimi tulisan Anda: generalis –sektarian? (Pertimbangkan: ‘kapitalis’–‘sosialis’, ‘nasionalis’–‘agamis’).
  • Pahami pula cara berpikir media: Kompas selalu menekankan pada human interest, KR suka hal-hal mistis, Jakarta Post lebih banyak mengangkat politik dan ekonomi. Ketika saya menulis tentang tinggalan megalit di Gunung Lawu untuk KR, maka saya memadukannya dengan pengalaman mistis di puncak gunung yang memiliki belasan punden itu. Saya yakin KR akan memuatnya. Ternayata benar. Tulisan itu sebulan sebelumnya dikirim di Kompas—karena lebih bergengsi dan bayarannya mahal—tapi ditolak mentah-mentah. Di sini saya tidak mengatakan bahwa Kompas lebih baik daripada KR, karena tulisan seorang teman yang pernah ditolak KR ternyata dimuat Kompas. Ini tentang cara berpikir media.
  • Cermati pula kedalaman media: fundamental atau superfisial?

Kiat Menulis Buku

  • Proses menulis buku meliputi: membangun ide/tesis, menyusun outline, menulis, menyelaraskan bahasa, menyelaraskan huruf, konsultasi publik, menyelaraskan bahasa dan huruf lagi, lalu menerbitkan.
  • Buku dapat ditulis dari hasil laporan penelitian, artikel-artikel yang dirangkai dalam bentuk bunga rampai, skripsi, tesis, catatan harian, dan penelitian langsung yang memang didedikasikan untuk menjadi buku.
  • Yang terpenting dalam menulis buku adalah menentukan tesis (tidak sama artinya dengan tesis untuk S-2), merupakan pendirian dasar yang ditegakkan, kerangka pikir yang dipakai, asumsi dasar atas suatu fakta, dan gagasan yang ingin disampaikan. Tesis ini berfungsi untuk mengendalikan dan memberikan arah kepada unsur yang terpisah dalam tulisan Anda.
  • Menysusn outline yang dibangun di atas dasar tesis.
  • Berikutnya adalah menentukan persfektif atas suatu kebenaran. Secara garis besar perspektif akan kebenaran ilmiah ada dua, yaitu kebenaran melekat pada objek dan kebenaran melekat tidak pada objek melainkan pada manusia yang terkait dengan objek tersebut. Perspektif pertama mendorong penulis untuk objektif, sedangkan perspektif kedua mendorong penulis untuk subjektif, bahkan intersubjektif yang mana subjektifitas penulis dalam penafsirannya diletakkan dalam subjektifitas para pembacanya.
  • Gunakanlah cara bertutur, bukan berkhotbah, agar buku kita tidak terkesan menggurui.
  • Gunakan judul bab dan sub-bab yang memikat yang mendorong orang tertarik membaca buku Anda.
  • Pola penulisan bisa mengikuti pola penulisan artikel. Yang penting jangan seperti skripsi, tesis, disertasi, dan laporan penelitian. Anda bisa saja mencoba seperti pola skripsi, tapi dijamin 99% akan ditolak penerbit, kecuali yang menerbitkan perusahaan Anda sendiri.
  • Yang paling sulit dalam menulis buku adalah membangun semangat yang berkelanjutan, karena biasanya penulisan buku membutuhkan waktu yang sangat lama.
  • Sebelum menulis buku, pastikan dulu bahwa ada penerbit yang tertarik pada tesis dan outline Anda, kecuali jika menulis buku merupakan kegemaran Anda, tak peduli akan diterbitkan atau tidak..
  • Jika Anda bekerja pada lembaga, maka setiap proyek penelitian atau proyek pembangunan seyogyanya mengalokasikan anggaran untuk publikasi. Penerbitan buku tidak terlalu mahal. Untuk 500 eksemplar dengan 150 halaman hanya membutuhkan Rp. 5.000.000,00.

Aspek Bahasa dalam Tulisan Ilmiah Populer

  • Bahasa ilmiah populer adalah bahasa yang singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, dan menarik.
  • Bahasa ilmiah populer harus didasarkan pada bahasa baku, yaitu bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar wibawanya.
  • Gunakan kalimat-kalimat pendek. Jika suatu pikiran bisa ditulis pendek, kenapa ditulis panjang. Yang menjadi penyakit kebanyakan arkeolog adalah menulis panjang. Jika Anda merasakan bahwa menulis yang baik itu harus panjang, maka itu suatu tanda bahwa penyakit itu sudah akut.
  • Guakan bahasa biasa yang mudah dipahami orang.
  • Gunakan bahasa sederhana dan jernih pengutaraannya.
  • Hindari penggunaan kalimat majemuk. Jika terpaksa, maka harus diupayakan sesedikit mungkin kalimat majemuk dalam tulisan Anda.
  • Gunakan bahasa dengan kalimat aktif, bukan kalimat pasif.
  • Gunakan bahasa padat dan kuat.
  • Gunakan bahasa positif, bukan negatif.
  • Penggunaan kata harus ekonomis.
  • Hindari kata-kata mubazir, yaitu kata yang bila tidak dipakai tidak akan mengganggu kelancaran komunikasi.
  • Subyek jangan sampai hilang pada setiap kalimat.
  • Anda harus menghindari kata-kata asing dengan mencari padannya dalam bahasa baku kita.

Sifat tulisan dibedakan menjadi: naratif, deskriptif, eksplanatif (analitik), dan reflektif. Tulisan naratif mengisahkan tentang peristiwa yang mempunyai hubungan sebab-akibat antara satu dengan yang lain dan membawa sesuatu pokok persoalan. Tulisan deskriptif melukisakan keadaan sutu benda, fakta, situasi, lingkungan, dan lain-lain supaya pembaca mendapat kesan tentangnya. Tulisan analitik menjelaskan kesalingterkaitan antara variabel satu dengan variabel lain yang menjadi unit analisis/kajian dalam rangka mencari penafsiran dari kesalingterkaitan antarvariabel itu. Tulisan reflektif berisi tentang renungan-renungan, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaan penulis yang “dibenturkan”dengan subjek yang dikajinya. Karenanya, tulisan reflektif sangat subjektif. Untuk memahami ragam sifat tulisan, perhatikan contoh-contoh paragraf berikut.

Naratif:

Dataran Tinggi Dieng dengan tinggalan arkeologi di dalamnya telah menarik perhatian dan mendorong munculnya berbagai studi/penelitian. Tokoh yang pertamakali tertarik pada keberadaan candi-candi dan tinggalan arkeologi lainnya di Dataran Tinggi Dieng adalah H. C. Cornelius, berkebangsaan Belanda. Ketika pertamakali candi-candi di Dataran Tinggi Dieng diteliti oleh H. C. Cornelius pada tahun 1814, kondisinya sebagian besar masih terendam oleh air, terutama Kompleks Candi Arjuna. Tahun 1856, seorang sarjana Belanda, Van Kinsbergen, berusaha untuk mengeringkan Kompleks Candi Arjuna dari genangan air dengan cara memfungsikan kembali saluran irigasi kuna, yaitu Gangsiran Aswatama. Saluran irigasi ini dahulunya berfungsi untuk mengalirkan air di sekitar dataran agar tidak menggenangi candi.

Deskriptif:

Gangsiran Aswatama adalah sebutan untuk saluran air kuna yang ada di dataran sekitar Kompleks Candi Arjuna menuju ke bawah bukit di sisi baratlaut. Saluran ini terdiri atas saluran permukaan sepanjang 445 m dan saluran bawah permukaan sepanjang 192 m, sehingga total panjang Gangsiran Aswatama adalah 637 m. Saluran sepanjang itu yang dapat teridentifikasi hingga kaki bukit, sedangkan saluran yang menembus bukit belum dapat dihitung jaraknya.

Eksplanatif (Analitik):

Nama Gangsiran Aswatama diambil dari cerita wayang dengan lakon Perang Baratayudha. Menjelang perang berakhir, dikisahkan Aswatama hendak membunuh Bambang Parikesit, anak Arjuna. Untuk dapat sampai ke kamar Parikesit, Aswatama membuat lubang di bawah tanah menggunakan keris sakti pemberian ibunya. Terlepas dari penamaan tersebut, keberadaan saluran air menunjukkan bahwa dataran di sekitar Kompleks Candi Arjuna dulunya adalah lahan basah berupa telaga atau rawa. Gangsiran Aswatama berfungsi untuk mengalirkan air dari dataran sehingga menjadi kering. Berdasarkan asumsi ini, maka diperkirakan saluran air tersebut dibangun sebelum pembangunan candi.

Reflektif:

Selain candi, di Dataran Tinggi Dieng juga ditemukan indikasi adannya bangunan profan berupa umpak-umpak batu dan struktur batu. Struktur bangunan profan sudah tidak dapat direkonstruksi. Beberapa orang ahli menduga bahwa bangunan profan tersebut dulunya terbuat dari kayu dengan umpak-umpak dari batu. Oleh karena sudah dimakan usia, maka kayu-kayu tersebut tidak dapat bertahan lama (Kempers, 1959:32). Bangunan ini ada yang berukuran kecil dan besar, dan antarbangunan saling berdekatan. Denah yang demikian mengingatkan pada tempat tinggal para agamawan di sekitar kuil dalam film-film klasik Cina. Kesan itu lebih terasa terutama setelah saya tinggal beberapa malam di pondok kayu hasil rekonstruksi BP3 Jawa Tengah di atas umpak-umpak batu yang dikenal dengan nama Darmacala itu.

Dalam satu kalimat hanya berisi satu pikiran, jangan sampai lebih. Sebuah kalimat adalah ekspresi atau pernyataan suatu pikiran yang lengkap. Kalimat jangan sampai membuat pembaca ragu-ragu tentang apa yang ingin disampaikan penulis (Rosihan Anwar, 2004: 120).

Dalam satu paragraf terdiri dari kalimat-kalimat yang terikat dalam satu topik atau satu pokok pikiran. Kalimat-kalimatnya harus menyusul satu sama lain secara logis, gagasan dalam masing-masing kalimat timbul secara wajar dari sesuatu pikiran yang telah disarankan oleh kalimat sebelumnya (Rosihan Anwar, 2004: 123). Akhirnya, satu paragraf harus mempunyai kesatuan perlakuan dan suasana dan jelas sifatnya apakah naratif, deskriptif, eksplanatif, atau reflektif.

Catatan Akhir

Tak ada resep jitu untuk mahir menulis. Alah bisa karena biasa. Pepatah itu berlaku pula dalam belajar menulis.

Arkeolog sangat berpotensi untuk mengembangkan tulisan yang bersifat naratif, deskriptif, eksplanatif, dan reflektif karena bidang ilmunya sangat mendukung ke arah itu. Bandingkan dengan tulisan-tulisan antropolog yang cenderung deskriptif dan replektif saja atau sejarawan yang cenderung naratif atau ekonom yang cenderung eksplanatif.

Berdasarkan pengalaman pribadi saya, jika ingin bisa menulis harus rajin membaca, mendengar, dan mengamati. Setelah itu tuangkan gagasan dan keluh-kesah kita yang didapat dari membaca, mendengar, dan mengamati itu dalam bentuk tulisan. Mudah bukan?

Sumber Pustaka

Alif Danya Munsyi. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Asep Syamsul M. Romli. 2001. Jurnalistik Praktis untuk Pemula. Bandung: Rosdakarya.

Ashadi Siregar dan I Made Suarjana. 1995. Bagaimana mempertimbangkan Artikel Opini untuk Media Massa?. Yogyakarta: Kanisius.

Bill Kovach & Tom Rosenstiel. 2004. Elemen-elemen Jurnalisme. Jakarta: ISAI.

Hasan Alwi (Redaktur). 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka dan Departemen Pendidikan Nasional.

R.S. Kurnia. 2008. Menulis Ilmiah Populer. http//www.........

Rosihan Anwar. 2004. Bahasa Jurnalistik Indonesia dan Komposisi. Yogyakarta: Media Abadi.

Slamet Soeseno. 1982. Teknik Penulisan Ilmiah-Populer. Jakarta: Gramedia.

Tartono, St. S. 2005. Menulis di Media Massa Gampang!. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.

Wilson Nadeak. 1989. Bagaimana Menjadi Penulis Kristiani yang Sukses. Bandung: Yayasan Kalam Hidup.

Xavier Quentin Pranata. 2002. Menulis dengan Cinta: Belajar Mandiri dan Mengajarkan Kembali Jurnalisme Kasih Sayang. Yogyakarta: Yayasan ANDI.

Yanuar Nugroho. 2007. Menulis Ilmiah Populer di Media Massa: Sebuah Catatan Pengalaman. http://ynugroho.multiply.com; http://audentis.wordpress.comr

2 comments:

Anonymous said...

Halo Mas Jajang,saat ini saya sedang menulis analisa genre pada teks ilmiah arkeologi. Boleh saya bertanya tentang kondisi penulisan ilmiah para arkeolog di jurnal ilmiah internasional?. Apakah hambatan terbesar bagi para peneliti/penulis arkeologi dalam menerbitkan tulisannya pada jurnal ilmiah internasional yang biasanya berbahasa INggris? terimakasih atas respons nya ya,

Anonymous said...

Halo Mas Jajang,saat ini saya sedang menulis analisa genre pada teks ilmiah arkeologi. Boleh saya bertanya tentang kondisi penulisan ilmiah para arkeolog di jurnal ilmiah internasional?. Apakah hambatan terbesar bagi para peneliti/penulis arkeologi dalam menerbitkan tulisannya pada jurnal ilmiah internasional yang biasanya berbahasa INggris? terimakasih atas respons nya ya,