Sunday, February 15, 2009

Berburu Situs Goa, Temukan Jejak Harimau*

Jajang Agus Sonjaya**

* Artikel di Harian Kompas:

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0207/19/iptek/berb33.htm

TAK disangka, goa yang seharian dicari nyatanya hanya lorong sempit di sebuah lereng terjal. Rasanya tidak sepadan dibanding perjalanan yang telah ditempuh naik-turun bukit, menapaki bebatuan kapur, menyeberang sungai, dan menerabas semak-belukar. Belum lagi terik Matahari di tengah hamparan tanah tandus dan gersang, sengatannya menguras habis keringat.

Begitulah arkeologi, dunia yang akrab dengan pencarian dan petualangan. Kami, arkeolog muda bersama beberapa mahasiswa, hampir dua tahun ini berkutat dengan pencarian situs-situs goa di Pegunungan Seribu. Kawasan yang menjadi bagian dari Pegunungan Selatan Jawa tersebut, merupakan hamparan karst, membentang dari mulai Muara Kali Opak (Gunung Kidul) di bagian barat hingga Teluk Pacitan di bagian timur sepanang 85 km. Lebar maksimum 30 km, dengan luas wilayah keseluruhan 1.300 km2.

Pencarian goa tersebut merupakan bagian dari Penelitian Terpadu Kawasan Arkeologis (PTKA) Gunung Kidul, Jurusan Arkeologi UGM. Karena sifatnya eksploratif, maka pencarian dilakukan untuk mendapat sebanyak mungkin goa di Pegunungan Seribu bagian barat. Bentang alam yang terdiri lembah-lembah sempit dan gugusan bukit kapur berbentuk kerucut dan kubah ini, dalamnya penuh rongga. Beberapa di antaranya ada yang memiliki lubang penghubung ke luar. Itulah yang disebut goa.

Di Gunung Kidul jumlahnya diperkirakan mencapai ribuan. Goa itu ada yang sempit, lebar, vertikal, horizontal, miring, atau hanya berupa ceruk. Sementara yang dicari arkeolog adalah goa-goa yang memiliki indikasi sebagai goa hunian manusia prasejarah. Cirinya antara lain memiliki permukaan datar, bermulut, dan beruang lebar, kering (tidak lembab apalagi berair), serta ventilasi dan pencahayaan bagus.

Langkah pencarian diawali dengan mendata goa-goa yang dikenal penduduk dengan cara menanyakan ke dusun-dusun. Mereka biasanya membedakan goa menjadi song dan luweng. Song digunakan untuk menamai goa horizontal dengan ruangan yang lebar. Ceruk yang lebar kadang disebut juga song. Sedangkan luweng digunakan untuk menyebut goa vertikal yang dalam. Dari situ jadi agak jelas, yang dicari adalah song, karena kecil kemungkinan leluhur kita mau tinggal di luweng. Namun, belum tentu juga setiap song layak huni, karena selain harus memperhatikan morfologi goa, juga harus dilihat apakah lingkungan sekitar goa mendukung bagi kehidupan manusia arkhais, seperti tersedianya sumber air.

Berbekal data itu, kami pun melakukan pencarian. Berhubung Gunung Kidul hanya 40 km di tenggara Yogyakarta, kami biasanya berangkat dari kampus. Paling tidak sekali dalam seminggu, berangkat pagi pulang malam. Namun, tidak jarang pula kami menginap di rumah penduduk hingga seminggu lamanya. Belum genap dua tahun, sedikitnya seratus goa sudah didatangi dan dipetakan. Seratus goa didapat, seratus kisah pula mengisi memori kami. Sungguh senang rasanya bila menemukan goa-goa bernilai arkeologis. Namun, goa-goa sempit dan terjal lebih banyak mengisi daftar penemuan kami.

***

Di penghujung Maret 2002, ketika mencari Goa Pelawan, kami menemukan sesuatu yang sungguh tak terduga. Bertolak dari keterangan penduduk yang mengaku pernah menemukan kapak batu di depan sebuah goa di kawasan hutan Wanagama, kami pun bersemangat mencarinya. Seharian kami menerabas hutan mencari goa itu, tidak juga ketemu. Padahal lokasi yang ditunjukkan penduduk sudah sangat jelas. Jadi kami terlalu percaya diri untuk tidak meminta mereka menemani. Karena tidak juga ketemu, akhirnya kami mencari dusun terdekat untuk mencari orang yang bisa menunjukkan tempatnya.

Berbekal parang dan arit, dua orang penduduk mengantar kami mencari goa itu. Dengan parang, kami lebih mudah menerabas semak. Kurang dari satu jam, akhirnya kami sampai pada sebuah gundukan semak, tidak jauh dari aliran Kali Oyo, sungai terpanjang dan terlebar di Gunung Kidul. "Niko song ipun (itu goanya)", tunjuk salah seorang pengantar. Setelah membabat, kami baru yakin bahwa itu sebuah goa. Mulut goa ternyata sempit. Meskipun sangat kecil kemungkinan goa itu dijadikan tempat hunian manusia, mengingat sudah jauh-jauh datang ke situ, penasaran juga pengen memasukinya.

Setelah merangkak beberapa meter, ruangan goa ternyata lebar. Di salah satu sisinya ada lorong kecil, dua orang rekan lalu memasukinya. Sementara saya bersama seorang rekan lain menyelidiki setiap sudut ruangan yang lebar itu, tentunya dengan bantuan senter. Ornamen goa lumayan juga. Beberapa stalaktit sudah sampai menyentuh tanah membentuk sebuah tiang, salah satu tanda kalau umur goa itu sudah sangat tua. Lagi serius mengamati permukaan tanah goa, kami tersentak karena menemukan bekas cakaran binatang... Tampaknya masih sangat baru.

"Wah, jangan-jangan..", kami tak berani meneruskan. Kami sangat khawatir dengan dua orang rekan yang sudah telanjur masuk ke lorong sempit itu. Untungnya, tidak lama mereka muncul. Kami cuma bisa ngasih kode "Ssssst." Dengan perlahan namun pasti, kami merangkak untuk keluar dari ruang bawah tanah itu.

Di depan goa, penduduk yang mengantar kami masih berdiri. Mereka kelihatan tegang, parang dan arit belum dimasukkan ke sarungnya. "Wonten nopo (ada apa)?", tanya mereka penuh selidik. Setelah kami jelaskan, mereka cepat-cepat mengajak kami pulang. Di perjalanan mereka cerita, bahwa di sekitar situ sering dijumpai harimau. Penduduk menyebut raja hutan itu Si Mbah. Jenis satwa langka itu memang tergolong keramat, penuh misteri. Mereka sangat yakin bahwa Goa Pelawan dipakai untuk sarang harimau. Kedua pengantar itu selama hidupnya, katanya, tidak pernah masuk Goa Pelawan, karena tidak berani pada Si Mbah yang dianggapnya sebagai binatang jadi-jadian.

Rekan-rekan yang berburu goa di daerah Kecamatan Ponjong, mendapat keterangan bahwa ada beberapa harimau yang sering turun masuk perkampungan mencari makan. Bahkan harimau itu tidak segan menggali kuburan baru, lalu menyeret mayat ke sarangnya. Goa-goa di perbukitan daerah Bedoyo, diyakini penduduk sebagai sarang harimau. Ketika goa tersebut disurvei, bentuknya mirip Gua Pelawan.

***

Keyakinan penduduk akan adanya harimau di daerahnya, tampak sekali ketika terjadi kematian. Tempat bekas memandikan jenazah mereka jaga beberapa malam, jangan sampai dilangkahi, apalagi dijilat, oleh Macan Gembong, sebutan lain untuk harimau. Karena jika sampai kejadian, maka jenazah yang sudah dikubur, menurut kepercayaan mereka, akan menjadi santapan makhluk yang dianggap gaib itu. Mereka yang mengaku pernah melihatnya, menggambarkan harimau itu bertubuh besar dan berkulit loreng, langkahnya sangat tenang dan meninggalkan jejak telapak kaki di tanah.

Terlepas dari kebenaran cerita yang berbau mistis itu, sebuah LSM pemerhati lingkungan di Yogyakarta pernah melakukan pengintaian terhadap harimau di Gunung Kidul. Jenis kucing besar itu memang masih tersisa beberapa di perbukitan kapur, bersembunyi di goa-goa. Tampaknya predator itu terpaksa turun kampung, karena hutan tempat ia hidup habis dibabat, sehingga hutan yang kini gersang, tidak bisa menyediakan lagi makan bagi mereka.

Kami memang belum pernah melihat sendiri adanya harimau itu. Namun, bahwa harimau pernah hidup di Gunung Kidul, kami bisa membenarkan. Saat dilakukan ekskavasi (penggalian arkeologis) di Song Blendrong, Song Agung, dan Song Bentar yang berada di daerah perbatasan Ponjong dan Wonogiri pada bulan April 2002, ditemukan banyak data tentang fauna. Di ketiga goa itu ditemukan ribuan fragmen tulang, ratusan gigi, puluhan kuku binatang, dan beberapa tanduk.

Hasil identifikasi dan analisis yang dilakukan hingga saat ini, memberi gambaran bahwa gajah, banteng, rusa, babi hutan, monyet, landak, dan harimau, pernah hidup di Gunung Kidul. Tinggalan itu ditemukan bersama dengan tulang-tulang manusia berikut artefaknya, seperti perkakas yang terbuat dari batu dan tulang yang sudah dikeraskan dengan cara dibakar. Temuan itu sungguh berharga bagi perbincangan dinamika prasejarah Pegunungan Seribu yang sudah dikenal di seantero jagad.

Sayangnya, umur dari temuan itu belum diketahui secara pasti, karena masih dalam proses analisis laboratorium. Tapi paling tidak, pada waktu ketika berbagai fauna itu hidup, kondisi lingkungan Pegunungan Seribu tidaklah gersang seperti sekarang. Karena syarat hidup fauna, khususnya yang tergolong bertubuh besar, adalah wilayah hijau yang mampu menyediakan banyak makanan.

Pencarian situs goa ini tak akan berakhir sebelum menjamah setiap sudut karst Gunung Kidul. Penemuan goa yang layak huni, biasanya akan ditindaklanjuti dengan melakukan penggalian untuk mengetahui potensi arkeologisnya. Penelitian situs goa di Pegunungan Seribu selama ini kebanyakan dilakukan di Kabupaten Pacitan. Sementara di Gunung Kidul belum banyak disentuh. Padahal, perburuan situs goa ini harus berpacu dengan aktivitas penambangan rakyat yang makin marak di Gunung Kidul. Entah sudah berapa bukit dan goa lenyap diambil kapurnya. Belasan goa yang bernilai arkeologis hancur diambil fosfat dan kalsitnya. Sementara puluhan goa lainnya sudah mulai terancam.


1 comment:

Anonymous said...

Cerita macan memangsa jenazah itu sudah ada sejak saya kecil tahun 86 an. Terus tahun 90 an suka baca beberapa tulisan semacam itu ( setelah bisa baca ). Yang jelas menarik buat saya meskipun mungkin nggak menarik untuk masyarakat disekitarnya. Kadang suka membayangkan juga kalau main ke taman safari.